Stoikism atau stoa kembali populer belakangan ini. Nilai-nilai filosofis dari stoa dianggap sangat versatile untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun nyatanya, beberapa orang yang awam dengan filosofi tersebut justru terjebak menjadi seorang nihilist, menjalankan nilai stoik dengan sporadis.
Contohnya ya aku sendiri.
Rasanya baru kemarin aku mengenal berbagai tuah dari om Zeno, filsuf Yunani yang mencetuskan stoikism ini. Beliau begitu damai menghadapi hidup dengan mengesampingkan berbagai hal yang tak pasti. Kekuasaan, kekayaan, popularitas, hingga beberapa hal yang dilandasi nafsu duniawi menjadi concern yang harus diwaspadai. Ia menyebutnya sebagai nilai-nilai eksternal.
Sementara itu, perasaan hingga gejolak emosi yang datang dari dalam diri dapat diregulasi sedemikian rupa agar tidak merugikan diri sendiri. Zeno menjelaskan bahwa emosi dan akal pribadi menjadi suatu poin penting yang dapat dikendalikan. Poin tersebut didefinisikan sebagai nilai-nilai internal.
oiya baru ingat, ternyata sudah dari semester 5 aku membaca penjelasan itu, di buku Filosofi Teras.
Ku kira, dulu mudah saja menerapkan stoikism sebagai jalan hidup, toh tinggal mengabaikan nilai-nilai eksternal, fokus pada perasaan dan pikiran sendiri untuk mencapai kedamaian hakiki.
Ternyata tidak semudah itu yaaa.
Dimulai saat pengerjaan skripsi. Pikiranku menganggap berjuang dengan skripsi menjadi ruang yang tepat dalam implementasi nilai stoa. Momen dimana banyak orang sekedar basa-basi menanyakan progress penelitian, melihat banyak kawan sudah sidang duluan, hingga berbagai 'paksaan' agar kita tetap semangat menjalani rutinitas yang tak kunjung selesai (toxic positivity), tentu sangat pas dihadapi dengan prinsip stoa.
Diriku yang hadir dengan memegang nilai stoa -saat itu- dengan percaya diri menepis segala suara sumbang dan tidak menghiraukan tindak tanduk orang lain. Segala pertanyaan kepo itu bisa dijawab ala kadarnya tanpa melibatkan perasaan sedikitpun. Tak berhenti di situ, pujian dan ucapan manis (yang mungkin saja hanya bualan) sudah tentu tidak didengarkan.
Ada yang salah, sikap 'abai' terhadap pencapaian atau respon eksternal justru membawaku semakin jauh dengan stoikism. Kedamaian yang ditawarkan stoa tak kunjung datang, malah membuat kondisi mental semakin tertekan.
Lambat laun, perilaku tersebut malah membentuk sisi lain yang tidak diharapkan, terjebak dalam nihilism.
Pun nihilism sebenarnya tidak buruk-buruk amat, ia didefinisikan sebagai nilai fislosofis yang memegang teguh prinsip pribadi dengan mengabaikan (secara ekstrim) nilai-nilai di luar dirinya dan menganggapnya tidak penting.
Hal itu dapat menjadikan penganutnya berpikir bahwa hidup ini tidak berarti sama sekali. Ia bebas menentukan value dirinya tanpa terikat oleh relasi kuasa apapun.
Jurang nihilism pada akhirnya melahap jiwaku sampai ke akarnya. Sejak saat itu, aku mulai kehilangan jalan hidup. Berulang kali menyalahkan stoa yang justru menjerumuskan ke dalam relung nihilism.
"Screw everything! Nothing matters!
I’m gonna live the best of my life!" ungkapan yang sering digaungkan penganut nihilism, termasuk saya, pada saat itu.
Pada akhirnya, satu-satunya yang bisa menyelamatkan akal dari nihilism adalah mampu memahami lebih dalam tafsir ideologi Zeno.
Ia berulang kali menyebutkan, bahwa tidak menghiraukan respon eksternal bukan berarti kita abai terhadapnya. Namun lebih kepada kemampuan diri untuk mengukur apakah kita siap menerima informasi eksternal tersebut atau tidak.
Zeno menekankan bahwa kita mempunyai kemampuan untuk meregulasi segala informasi yang datang. Kita dapat memilah informasi mana yang perlu kita tanggapi dan mana yang hanya sekedar didengarkan.
Ketersinggungan, kemarahan, hingga kesedihan merupakan respon yang dapat kita pilih untuk dikeluarkan atau tidak sama sekali. Dengan pemahaman stoa, kita akan lebih bijak memberikan tanggapan maupun menyerap informasi dengan baik, tanpa menganggap segala sesuatunya tidak penting, layaknya seorang nihilist.
Memperluas relasi dan banyak berdiskusi menjadi kunci agar dapat keluar dari prinsip filsafat yang tidak kita harapkan atau tidak sesuai dengan kita.
Ada banyak hal yang kemudian membuatku kembali mencoba menerapkan stoikism, terlepas dari buruknya tafsir filsafatku sebelumnya, kini lebih membuka pikiran agar tidak kembali 'tersesat'.

Komentar