PERJAHITAN
Kehidupan berjalan seperti biasa, setidaknya hingga sang surya sedikit naik menuju puncaknya. Sekitar pukul sembilan pagi, aku dan Elvian yang sudah sepakat akan menjahit logo dan nama jas lab sempat kalut.
Kita lupa mengundang Viko untuk ikut perjalanan pagi ini. Akhirnya, dengan segera Elvian mengajak pemuda jangkung tersebut agar cepat bergabung.
"Oiya jim, udah sempet bilang Viko belom ya?" Tanya Elvian.
"Eh kirain kamu yang udah ngabarin, yaudaa coba chat Viko," Balasku bingung.
Notifikasi Whatsapp dengan cepat menghampiri ponsel Elvian. Berisi pesan singkat bahwa Viko akan segeramenyusul.
"Ayooo, ndang budhal, tapi aku mandi dulu hehe," Kata Viko
Long story short, pertemuan kita akhirnya terjadi di kost Elvian, tak lama setelah aku datang di depan kostnya, Viko dengan sumringah segera menyusul, meski motor Vario yang ditungganginya hampir melewatkan kost Elvian dengan gerbang birunya.
"Duhh, hampir aja kelewat, lali akuu," Keluhnya, meski bisa dimaklumi, sudah hampir sebulan lebih ia tidak menginjak Jogja. Hari ini, jadi kali pertamanya bepergian dengan Vario miliknya, setelah satu semester lebih berjalan kaki.
Tepat setelah Viko datang, kita memutuskan segera mencari tukang bordir di sekitar Mirota. Elvian menjadi orang penting dalam perjalanan ini, dimana ia lah yang mengajak kita pergi menjahit logo dan nama jas lab.
Tukang jahit terlihat berjejer di kanan-kiri jalan. Meski tidak seramai biasanya, beberapa mahasiswa baru terlihat lalu lalang membawa jas almet yang mungkin terlalu besar bagi tubuh mungilnya, berharap para tukang jahit dapat memperbaiki ukuran pabrik dari jas almet yang mereka terima.
Tempat yang kami kira sudah pasti untuk dikunjungi ternyata hanya ilusi belaka, Elvian pun bingung memilih tukang jahit mana yang paling pas bagi kita. Saking bingungnya, kita harus memutar jalan sekali lagi, demi memastikan tukang jahit yang sesuai.
Kita tetap saja bingung, berakhir mengistirahatkan kendaraan masing-masing di bahu jalan.
"Yang mana ini ell? Ada banyak tukang jahit, tapi banyak juga yang tutup," tanyaku sedikit pesimis.
"Ndak tau Jim, kita coba ke situ aja po?" Jawab Elvian, mencoba memberi sedikit solusi.
Saat kita sedang larut dalam kebuntuan, suara parau seorang lelaki parubaya datang dengan informasi berlian.
"Nyari apa mas, mbak?" Tanya lelaki tersebut.
Rompi oranye dengan peluit dikalungkan tepat di depan dada memberikan ilustrasi yang tidak asing, ia bergegas mendatangi kami bertiga yang sedang kebingungan, seakan ingin membantu nenek tua yang kesusahan menyebrang jalan.
"Ini pak, mau nyari tukang jahit, buat bordir nama dan logo," Jawab Viko dengan penuh harap.
"Ohh kalo itu ada mas, sini saya tunjukkan," Jawab lelaki dengan senyum yang entah apa maksudnya.
Kebuntuan yang kita alami akirnya terpecahkan, dengan petunjuk sang lelaki berbaju oranye, which is tukang parkir, kita berhasil menemukan tukang jahit yang sesuai.
"Wahh akhirnyaa," Ucap Elvian penuh syukur.
Bilik kecil di sudut jalan Mirota terlihat sangat sibuk. Di dalamnya, terdapat seorang pemuda seusia kita sedang bertarung dengan benang kusut, tak habisnya melilit sepotong celana Jeans untuk menutupi sobekan yang terbentuk, berharap bisa kembali seperti semula.
Langkah kita terhenti di muka pintu sang tukang jahit, Elvian dengan sigap bertanya beragam informasi seputar ongkos menjahit.
"Mas, kalau mau jahit logo sama nama jas lab, berapa ya? Dan berapa lama jadinya?" Tanya Elvian dengan antusias.
"Oh, itu 20k mba, nanti jadi hari sabtu" Jawab sang penjahit.
Jawaban singkat mas-mas penjahit membuat kita sedikit bergumam, saling pandang dan bertanya-tanya, apakah dengan harga tersebut worth it untuk kita beli? Apalagi dengan waktu yang cukup lama, empat hari hanya untuk menjahit nama dan logo saja.
"lama banget Vik, kalau hari sabtu baru jadi," Keluhku.
"Iya juga jim, kirain langsung jadi hari ini," Jawab Viko dengan keluhan yang hampir mirip.
"Jadi gimana? Mau pindah yang lain aja? Terus dimana?" Elvian mencoba sedikit memastikan pilihan yang kita tentukan.
Meski sedikit bingung, pada akhirnya kita tetap memilih mas-mas tukang jahit tersebut. Dengan pertimbangan agak mager mencari tukang jahit lagi, selain karena penyelenggaraan praktikum kampus masih cukup lama.
Beberapa jam setelah itu, aku hanya kembali ke kost, bercumbu dengan kasur hingga larut dalam mimpi.
Alhamdulillah-nya, sore hari setelah ashar, entah dirasuki kekuatan darimana, aku kembali menulis jurnal yang sudah lama tid k tersentuh.
Menata kata demi kata, mengulik setiap peristiwa yang terjadi, hampir setiap hari.
Semoga konsisten aja, sih.

Komentar